Valentine Terakhir Untuk Kakek
Aku pernah bertanya-tanya, apa sebenarnya yang aku cari di hari kasih sayang? Semua orang memberikan cinta, sementara aku hanya diam bertanya-tanya, siapa yang akan memberiku coklat atau setangkai mawar merah yang berarti aku dicintai? Sampai sekarang, di usiaku yang ke-20, belum ada seorang pun yang memberi hadiah. Namun tahun ini berbeda, kakekku yang memberiku sesuatu yang tak pernah kubayangkan.
Hari itu, kakek datang dengan sepeda tuanya, yang bunyinya berderit setiap kali ia mengayuh. Aku membuka pintu dan melihatnya, tersenyum sambil melepas topi tua Cinanya. Usia kakek sudah 70 tahun, rambutnya memutih, tapi semangatnya masih sama.
“Kakek, panas-panas begini datang naik sepeda? Nggak kepanasan?” tanyaku sambil menyambutnya.
“Enggak apa-apa. Mana mamamu?”
“Lagi di rumah tetangga.”
Kakek hanya mengangguk. Ia lalu mengeluarkan kotak kecil berwarna merah kusam dari tasnya.
“Ini ada hadiah kecil buat kamu,” katanya sambil menyerahkannya padaku.
Aku membuka kotak itu dan menemukan sepasang anting berbentuk bunga matahari, hanya satu yang tersisa.
“Cuma ada satu. Yang satunya hilang. Kakek nemuin ini pas beres-beres gudang. Sayang kalau dibuang,” jelasnya.
Aku sedikit bingung, tapi menghargai usahanya. “Terima kasih, Kek.”
Setelah itu, kakek duduk di teras rumah sambil memandangi kolam ikan di halaman. Aku membuatkan teh hangat dan menemaninya.
“Kamu nggak kuliah, kok di rumah aja pas Valentine?” tanyanya sambil menyeruput teh.
Aku tersenyum. “Kek, ini hari Minggu. Lagian, siapa yang mau ngajak Valentine? Belum ada pacar.”
Kakek tertawa kecil, wajahnya yang penuh kerutan terlihat hangat. “Jangan khawatir, Angel. Cinta akan datang pada waktunya.”
Aku hanya tersenyum tipis, mendengarkan kakek berbicara. Lalu, seperti biasa, ia mulai bercerita tentang masa mudanya.
Dulu, kakek yang bernama Albert adalah pria pemalu. Ketika duduk di bangku SMA, ia belum pernah punya pacar. Namun, suatu hari, ia bertaruh dengan temannya, Hendra, bahwa ia akan membawa seorang gadis di hari Valentine. Kakek berusaha keras mencari gadis yang mau menemaninya, tapi tak satu pun yang tertarik.
Suatu hari, sepulang sekolah, ban sepeda kakek kempes. Di tengah jalan, seorang gadis tiba-tiba memukul kepalanya. Gadis itu tidak bicara, hanya menggerakkan tangan, seolah memberi isyarat. Kakek marah, tapi akhirnya mengikuti gadis itu. Ternyata, gadis tersebut meminta tolong untuk menyelamatkan seekor anak burung yang jatuh dari sarangnya.
Setelah membantu gadis itu, kakek baru tahu bahwa namanya Agnes. Gadis itu bisu, tapi sangat baik hati. Sejak saat itu, mereka sering bertemu. Sampai akhirnya, kakek mengajak Agnes menjadi teman Valentine-nya. Meskipun Agnes setuju, kakek meminta agar dia tidak menunjukkan bahwa dia bisu di depan teman-temannya.
Saat Valentine tiba, Agnes datang dengan gaun putih yang cantik. Semua orang di sekolah terkejut melihat kakek membawa gadis secantik Agnes. Kakek merasa bangga, tetapi perasaan itu hanya sementara. Suatu hari, Hendra tahu bahwa Agnes bisu dan mengejek kakek di depan teman-temannya. Kakek merasa malu dan mulai menjauhi Agnes.
Agnes, yang sudah mulai menyukai kakek, merasa sakit hati ketika mengetahui bahwa kakek hanya memanfaatkannya untuk taruhan. Suatu hari, ketika Agnes sedang merawat burung yang jatuh dari sarangnya lagi, kakek datang. Namun, Agnes menolak kakek, meninggalkannya dengan air mata dan kecewa. Kakek hanya bisa melihat dari kejauhan, merasa bersalah.
Kembali ke masa kini, aku menatap kakek yang kini sudah tua, menahan air mata setelah mendengar kisahnya. Aku bertanya, “Kek, apa yang akan kakek lakukan kalau bisa bertemu Agnes lagi?”
Kakek terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Aku hanya akan bilang, Valentine pertama dan terakhirku bersamanya adalah yang terindah.”
Aku memeluk kakek erat, merasakan betapa dalam cintanya yang tak pernah tersampaikan.
Beberapa tahun kemudian, di hari pernikahanku, seorang nenek tua datang bersama cucunya. Nenek itu memakai liontin yang mirip dengan milikku. Aku terdiam, memandangnya tanpa bicara. Kakek, yang duduk di sudut ruangan, melihat nenek itu dan menangis. Cucu nenek itu menghampiri kakek dan berkata, “Kakek, nenek saya ingin berkata sesuatu.”
“Apa, Nak?” jawab kakek dengan suara bergetar.
“Nenek bilang, nggak apa-apa menangis di depan anak-anak muda,” ujar cucu itu sambil tersenyum.
Kakek terdiam, lalu bertanya, “Siapa nama nenekmu?”
“Agnes,” jawab cucu itu.
Air mata kakek mengalir deras. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, kakek bertemu dengan cinta pertamanya.